Sunday, December 2, 2012

Annoy Kuliah Humanistic Studies


Ani Rochaeni
2011120037
Section D

Humanistic Studies:
Menanggapi Kuliah Umum Dosen Tamu

Sesuai dengan judul tulisan kali ini, intinya berisi tanggapan hasil kuliah umum bersama dosen tamu. Bukan om-om lagi, kali ini dosennya bikin gak konsen dialah Mbake Saras Dewi dari Universitas Indonesia. Doi juga penyanyi katanya (owkay, that’s OOT). Kembali ke laptop, materi yang disajikan mengenai Filosofi dan Agama. Berdasarkan kuliah Senin itu, saya seperti mengulang kembali pelajaran Antropologi semasa SMA. Masalahnya, memori saya agak rusak, so… you know me so well lah. Berbicara tentang agama, gama adalah bebas dan a-gama berarti terikat. Berasal dari Bahasa Sansekerta, agama sama dengan doktrin. Dari Latin, Religionem berarti patuh terhadap kesakralan. Secara garis besar agama menekankan pada faktor kepatuhan manusia terhadap Tuhan melalui doktrin.

Kata si Teteh Saras, ada beberapa alasan mengapa manusia hidup beragama. Diantaranya menjawab keheranan (saya juga heran apa yang sedang saya tulis kali ini, berarti saya beragama). Ada lagi menaggung kesengsaraan atau penebus dosa, sebagai acuan nilai moral, juga mencapai pembebasan atau surga kehidupan abadi.

Dari tadi omongannya agama, sekarang filosofi. Biar keren, Philosophia yang berarti kecintaan terhadap kebijaksanaan agar kritis. Penjelasannya agak absurd, karena di catetan begitu adanya.

Penjelasan tentang filosofi dan agama di atas, dipikir-pikir, dicerna, ditelaah, ada benernya juga. Kalo ditanya percaya atau tidaknya terhadap Tuhan tentunya iya. Ditambah lagi karena didikan sedari orok tentang keabsolutan Tuhan. Bila dikaitkan tentang keyakinan akan Tuhan dengan filosofi, saya berada pada kaum Mistis. Bukan dalam artian yang horror. Ada 3 kaum yang memandang agama dengan filosofi. Kaum Rasionalis yang demen banget bernalar. Kaum ini berpikir Tuhan bisa dari akal. Salah satu tokoh dari Rasionalis yakni Rene Descarted dengan pandangannya yang terkenal Cogito Ergo Sum = I think therefore I am = aku berpikir maka aku ada. Berpikir di sinilah yang menjadi titik temu antara filosofi dan agama. Selanjutnya kaum Mistis berpandangan Tuhan satu di dalam alam. Filsafat dan agama hidup berdampingan. Ibn Arabi dengan Al-Muqaddimahnya menganggap kebenaran itu universal, cara pandangnya saja yang berlainan. Yang terakhir Eksistensionalis…!@#$%^&* (kesalahan bukan pada layar monitor Anda), begitulah.

Ingat pernyataannya dosen Humanistic, sebut saja Pak Malik yang berujar bahwa bila dilihat dari kacamata seorang Atheis yang tidak mengakui adanya Tuhan pencipta alam semesta. Mereka akan mencibir manusia zaman sekarang yang semakin terbelakang. Dahulu orang-orang membuat patung segala bentuk untuk dijadikan tuhannya. Labih parah lagi orang masa kini, sosok Tuhan diwujudkan di alam pikiran manusia. Menaggapi hal ini, saya tetap meyakini keesaan Tuhan. Kembali lagi ke bahasan alasan manusia hidup beragama. Itu yang menjadi salah satu alasannya, yakni acuan nilai moral, prinsip hidup, hal-hal yang boleh/tidak. Terlebih lagi ada yang namanya Transendensi (yesss, dipake juga kata ini), ada beberapa hal yang memang di luar batas rasional tapi bisa dipahami. Untuk si Atheis mungkin aja merespon “apa-apaan lo, noy?”. Ya kalo mau dijawab nyeleneh, bisa saja saya menjawab Tuhan akan membalas dengan adil apapun yang saya lakukan selama di dunia fana ini, kalo toh memang Tuhan itu tidak ada, setidaknya hidup saya lebih berwarna dengan segala ritual yang saya jalani ketimbang mereka yang tidak melakukan apapun selain mengeksploitasi kakayaan ibu pertiwi.

Pada akhirnya, kuliah tentang filosofi cukup membuat kemampuan nalar saya bekerja. Berdampingan dengan agama, membuat saya berpikir tentang saya sebagai manusia yang hidup beragama. Perwujudan Tuhan saya memang tidak dapat digambarkan ke dalam berbagai bentuk, namun sanubari tetap terpaut pada-Nya. Apapun orang berkata, Lakum dinukum waliyadiin.

Shodakaulohul’azhiim

No comments:

Post a Comment