Ani Rochaeni
2011120037
Section D
Humanistic
Studies:
Menanggapi
Kuliah Umum Dosen Tamu
Sesuai dengan
judul tulisan kali ini, intinya berisi tanggapan hasil kuliah umum bersama
dosen tamu. Bukan om-om lagi, kali ini dosennya bikin gak konsen dialah Mbake
Saras Dewi dari Universitas Indonesia. Doi
juga penyanyi katanya (owkay, that’s OOT). Kembali ke laptop, materi yang
disajikan mengenai Filosofi dan Agama. Berdasarkan kuliah Senin itu, saya seperti
mengulang kembali pelajaran Antropologi semasa SMA. Masalahnya, memori saya
agak rusak, so… you know me so well lah.
Berbicara tentang agama, gama adalah
bebas dan a-gama berarti terikat. Berasal
dari Bahasa Sansekerta, agama sama dengan doktrin. Dari Latin, Religionem berarti patuh terhadap
kesakralan. Secara garis besar agama menekankan pada faktor kepatuhan manusia
terhadap Tuhan melalui doktrin.
Kata si Teteh Saras, ada beberapa alasan mengapa
manusia hidup beragama. Diantaranya menjawab keheranan (saya juga heran apa
yang sedang saya tulis kali ini, berarti saya beragama). Ada lagi menaggung
kesengsaraan atau penebus dosa, sebagai acuan nilai moral, juga mencapai
pembebasan atau surga kehidupan abadi.
Dari tadi
omongannya agama, sekarang filosofi. Biar keren,
Philosophia yang berarti kecintaan
terhadap kebijaksanaan agar kritis. Penjelasannya agak absurd, karena di catetan begitu adanya.
Penjelasan
tentang filosofi dan agama di atas, dipikir-pikir, dicerna, ditelaah, ada benernya juga. Kalo ditanya percaya atau
tidaknya terhadap Tuhan tentunya iya. Ditambah lagi karena didikan sedari orok tentang keabsolutan Tuhan. Bila dikaitkan
tentang keyakinan akan Tuhan dengan filosofi, saya berada pada kaum Mistis. Bukan
dalam artian yang horror. Ada 3 kaum yang memandang agama dengan filosofi. Kaum
Rasionalis yang demen banget
bernalar. Kaum ini berpikir Tuhan bisa dari akal. Salah satu tokoh dari
Rasionalis yakni Rene Descarted dengan pandangannya yang terkenal Cogito Ergo Sum = I think therefore I am
= aku berpikir maka aku ada. Berpikir di sinilah yang menjadi titik temu antara
filosofi dan agama. Selanjutnya kaum Mistis berpandangan Tuhan satu di dalam
alam. Filsafat dan agama hidup berdampingan. Ibn Arabi dengan Al-Muqaddimahnya
menganggap kebenaran itu universal, cara pandangnya saja yang berlainan. Yang terakhir
Eksistensionalis…!@#$%^&* (kesalahan bukan pada layar monitor Anda), begitulah.
Ingat pernyataannya
dosen Humanistic, sebut saja Pak Malik yang berujar bahwa bila dilihat dari
kacamata seorang Atheis yang tidak mengakui adanya Tuhan pencipta alam semesta.
Mereka akan mencibir manusia zaman sekarang yang semakin terbelakang. Dahulu orang-orang
membuat patung segala bentuk untuk dijadikan tuhannya. Labih parah lagi orang
masa kini, sosok Tuhan diwujudkan di alam pikiran manusia. Menaggapi hal ini,
saya tetap meyakini keesaan Tuhan. Kembali lagi ke bahasan alasan manusia hidup
beragama. Itu yang menjadi salah satu alasannya, yakni acuan nilai moral,
prinsip hidup, hal-hal yang boleh/tidak. Terlebih lagi ada yang namanya
Transendensi (yesss, dipake juga kata
ini), ada beberapa hal yang memang di luar batas rasional tapi bisa dipahami. Untuk
si Atheis mungkin aja merespon “apa-apaan
lo, noy?”. Ya kalo mau dijawab nyeleneh,
bisa saja saya menjawab Tuhan akan membalas dengan adil apapun yang saya
lakukan selama di dunia fana ini, kalo toh memang Tuhan itu tidak ada,
setidaknya hidup saya lebih berwarna dengan segala ritual yang saya jalani
ketimbang mereka yang tidak melakukan apapun selain mengeksploitasi kakayaan
ibu pertiwi.
Pada akhirnya,
kuliah tentang filosofi cukup membuat kemampuan nalar saya bekerja. Berdampingan
dengan agama, membuat saya berpikir tentang saya sebagai manusia yang hidup beragama.
Perwujudan Tuhan saya memang tidak dapat digambarkan ke dalam berbagai bentuk,
namun sanubari tetap terpaut pada-Nya. Apapun orang berkata, Lakum dinukum
waliyadiin.
Shodakaulohul’azhiim
No comments:
Post a Comment